top of page

Go Public: Strategi Pertumbuhan Agresif dan Monetisasi di Industri Fintech

ree

Pengantar: Mengapa Perusahaan Fintech Memilih Go Public

Coba bayangkan sebuah perusahaan teknologi keuangan (fintech) seperti "startup jagoan" yang sukses besar. Mereka sudah punya banyak pelanggan, produknya keren, dan keuntungannya terus naik. Nah, setelah bertahun-tahun didanai oleh investor swasta (seperti venture capital), tiba saatnya mereka berpikir untuk naik level. Salah satu langkah terbesar yang bisa diambil adalah "Go Public" atau melakukan IPO (Initial Public Offering).

 

Apa sih artinya Go Public? Singkatnya, ini adalah proses di mana sebuah perusahaan swasta pertama kalinya menjual sahamnya kepada masyarakat umum. Saham-saham ini kemudian bisa diperjualbelikan di bursa saham, misalnya Bursa Efek Indonesia (BEI).

 

Lalu, kenapa sih perusahaan fintech yang sudah sukses memilih untuk melakukan langkah sebesar ini? Ada beberapa alasan utama yang jadi pendorong:

  1. Mendapatkan Modal Raksasa: Ini adalah alasan nomor satu. Lewat IPO, perusahaan bisa mendapatkan dana tunai dalam jumlah yang sangat besar, jauh lebih besar daripada yang bisa didapat dari investor swasta. Uang ini bisa dipakai untuk berbagai hal, seperti:

    • Ekspansi Agresif: Membuka pasar baru di kota lain atau bahkan negara lain.

    • Pengembangan Produk Baru: Mengembangkan teknologi yang lebih canggih atau meluncurkan layanan inovatif yang butuh modal besar.

    • Akuisisi Perusahaan Lain: Membeli kompetitor atau perusahaan kecil yang punya teknologi menarik untuk memperkuat posisi di pasar.

    • Melunasi Utang: Menggunakan dana IPO untuk melunasi utang, sehingga perusahaan jadi lebih sehat secara finansial.

  2. Meningkatkan Gengsi dan Citra Perusahaan:

    • Perusahaan yang sudah Go Public secara otomatis memiliki status dan kredibilitas yang lebih tinggi. Mereka dianggap lebih transparan dan akuntabel karena harus mematuat berbagai aturan dari regulator pasar modal.

    • Status ini membuat mereka lebih dipercaya oleh pelanggan, mitra bisnis, bahkan calon karyawan. Siapa yang tidak ingin bekerja di perusahaan publik yang namanya sudah besar?

  3. Monetisasi bagi Pendiri dan Investor Awal:

    • Para pendiri dan investor awal (investor yang mendanai perusahaan sejak awal) biasanya memegang banyak saham. Lewat IPO, mereka bisa menjual sebagian sahamnya di pasar terbuka dan mendapatkan keuntungan besar dari investasi mereka. Ini adalah "panen raya" setelah bertahun-tahun menunggu.

  4. Menarik Karyawan Terbaik:

    • Perusahaan yang sudah Go Public bisa memberikan saham (biasanya dalam bentuk ESOP atau Employee Stock Ownership Plan) kepada karyawannya. Ini adalah daya tarik yang kuat untuk merekrut dan mempertahankan talenta terbaik, karena karyawan jadi merasa ikut memiliki perusahaan dan akan mendapatkan keuntungan jika harga saham naik.

 

Jadi, bisa dibilang Go Public itu seperti "wisuda" bagi sebuah perusahaan. Ini adalah momen untuk mengumpulkan modal besar, menunjukkan kepada dunia bahwa mereka adalah perusahaan yang kuat dan matang, serta memberikan kesempatan bagi pendiri dan investor awal untuk mendapatkan hasil dari kerja keras mereka. Ini bukan keputusan yang mudah, tapi bisa menjadi strategi pertumbuhan paling agresif dan efektif, terutama di industri fintech yang haus akan modal untuk bersaing.

 

Persiapan Menuju IPO: Aspek Hukum dan Keuangan

Melakukan IPO itu bukan seperti mendirikan warung kopi. Ini adalah proses yang sangat kompleks, membutuhkan persiapan yang matang, dan melibatkan banyak pihak. Ibaratnya, ini seperti persiapan untuk ujian negara yang besar dan sangat ketat. Anda tidak bisa melakukannya sendirian; Anda butuh tim ahli dan harus memenuhi semua persyaratan yang ada.

 

Persiapan menuju IPO bisa memakan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Secara garis besar, persiapan ini dibagi menjadi dua aspek utama: aspek hukum dan aspek keuangan.

 

1. Aspek Hukum (Legal):

  • Memastikan Kepatuhan Regulasi: Perusahaan harus memastikan semua operasionalnya, dari produk, layanan, sampai struktur organisasinya, sudah sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI). Ini termasuk perizinan, perlindungan konsumen, dan standar keamanan data.

  • Merapikan Dokumen Hukum: Tim hukum perusahaan akan melakukan "bersih-bersih" atau due diligence pada semua dokumen legal. Ini termasuk kontrak dengan pihak ketiga, perjanjian dengan investor, sertifikat kepemilikan aset, dan semua perizinan yang dibutuhkan. Semuanya harus rapi dan lengkap.

  • Menyusun Prospektus: Ini adalah dokumen yang paling penting. Prospektus adalah semacam "buku panduan" yang berisi semua informasi tentang perusahaan, mulai dari profil, sejarah, kinerja keuangan, strategi bisnis, risiko yang dihadapi, sampai penggunaan dana IPO nantinya. Prospektus ini harus disetujui oleh OJK dan BEI sebelum bisa disebarkan ke publik.

  • Memilih Penjamin Emisi Efek (Underwriter): Ini adalah perusahaan sekuritas yang akan membantu menjual saham ke publik. Underwriter juga yang akan menjadi konsultan utama dalam proses IPO.

  • Menunjuk Profesional Pendukung: Perusahaan harus menunjuk berbagai pihak profesional, seperti konsultan hukum, akuntan publik independen, dan notaris. Mereka akan memastikan semua proses berjalan sesuai aturan.

 

2. Aspek Keuangan (Financial):

  • Merapikan Laporan Keuangan: Laporan keuangan perusahaan harus diaudit oleh akuntan publik yang terpercaya. Laporan keuangan harus rapi, transparan, dan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku (PSAK). Ini bisa jadi tantangan besar, terutama bagi fintech yang laporan keuangannya mungkin masih campur aduk.

  • Membuat Proyeksi Keuangan: Perusahaan harus membuat proyeksi pendapatan dan laba di masa depan, yang akan digunakan untuk menentukan valuasi dan harga saham. Proyeksi ini harus realistis dan didukung oleh data.

  • Menentukan Valuasi dan Harga Saham: Ini adalah langkah yang paling menentukan. Dengan bantuan underwriter dan akuntan publik, perusahaan akan menghitung berapa nilai perusahaan (valuasi) dan berapa harga saham per lembarnya. Mereka akan mempertimbangkan berbagai hal, seperti kinerja masa lalu, potensi pertumbuhan, dan kondisi pasar saat itu.

  • Memastikan Struktur Modal: Perusahaan harus memastikan struktur modalnya sudah siap untuk IPO, termasuk penyesuaian kepemilikan saham dan pembagian dividen di masa depan.

  • Persiapan Manajemen: Manajemen perusahaan juga harus siap untuk berubah. Mereka harus belajar tentang tata kelola perusahaan publik, aturan pasar modal, dan bagaimana berkomunikasi dengan investor di masa depan.

 

Singkatnya, persiapan menuju IPO itu seperti merapikan "isi rumah" sebelum membuka pintu untuk tamu yang sangat penting. Semuanya harus bersih, rapi, dan siap diperiksa dari luar. Ini adalah proses yang melelahkan, tapi sangat penting untuk memastikan IPO berjalan lancar dan sukses.

 

Proses Valuasi dan Penentuan Harga Saham Fintech

Salah satu tahapan paling krusial dan paling menegangkan dalam proses IPO adalah menghitung valuasi perusahaan dan menentukan harga saham per lembarnya. Ibaratnya, ini seperti menentukan berapa harga yang pantas untuk sebuah karya seni langka sebelum dilelang. Angkanya tidak boleh terlalu mahal sehingga tidak ada yang mau beli, tapi juga tidak boleh terlalu murah sehingga perusahaan rugi.

 

Apa itu Valuasi?

Valuasi adalah perkiraan nilai keseluruhan dari sebuah perusahaan. Dalam kasus fintech, ini bukan hanya soal berapa keuntungan yang mereka dapatkan saat ini, tapi juga seberapa besar potensi mereka di masa depan.

 

Bagaimana Proses Valuasi Dilakukan?

Proses valuasi ini biasanya dipimpin oleh penjamin emisi efek (underwriter) dan melibatkan tim analis keuangan. Ada beberapa metode yang umum dipakai, tapi untuk fintech yang seringkali masih rugi di awal-awal, metodenya sedikit berbeda:

  1. Metode Diskon Arus Kas (Discounted Cash Flow - DCF):

    • Konsep: Metode ini mencoba memprediksi berapa banyak uang yang akan dihasilkan perusahaan di masa depan (arus kas) dan kemudian "mendiskon" nilainya ke masa sekarang.

    • Bagaimana dengan Fintech? Banyak fintech yang masih membakar uang untuk pertumbuhan, jadi arus kas mereka seringkali negatif. Analis harus membuat asumsi yang cermat tentang kapan fintech ini akan mulai menghasilkan keuntungan dan seberapa besar pertumbuhannya. Ini butuh pemahaman mendalam tentang industri dan strategi perusahaan.

  2. Metode Perbandingan Pasar (Market Comparables):

    • Konsep: Metode ini membandingkan valuasi fintech yang akan IPO dengan valuasi perusahaan sejenis (kompetitor) yang sudah Go Public.

    • Bagaimana dengan Fintech? Analis akan melihat rasio-rasio seperti rasio harga terhadap penjualan (P/S Ratio), karena banyak fintech yang belum untung jadi tidak bisa pakai rasio harga terhadap laba (P/E Ratio). Mereka akan membandingkan berapa harga pasar dari kompetitor per 1 dollar pendapatan, dan menerapkan rasio yang sama ke fintech yang akan IPO.

  3. Metode Gabungan (Mix-and-Match):

    • Seringkali, penjamin emisi akan menggunakan kombinasi dari beberapa metode untuk mendapatkan hasil yang paling akurat. Mereka juga akan mempertimbangkan hal-hal lain yang sifatnya non-finansial, seperti:

      • Kekuatan Brand dan Teknologi: Seberapa kuat brand mereka? Apakah teknologi yang mereka miliki unik dan sulit ditiru?

      • Tim Manajemen: Seberapa berpengalaman dan kompeten tim yang ada di belakang perusahaan.

      • Potensi Pasar: Seberapa besar pasar yang bisa mereka sasar?

 

Penentuan Harga Saham:

Setelah valuasi perusahaan ketemu, langkah selanjutnya adalah menentukan harga per lembar saham. Ini tidak semudah membagi total valuasi dengan jumlah saham. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi:

  • Tujuan Perusahaan: Apakah perusahaan ingin mendapatkan modal sebesar-besarnya? Atau lebih fokus pada menarik investor ritel?

  • Minat Investor: Sebelum IPO, underwriter akan melakukan semacam survei ke investor institusional (bank, dana pensiun) untuk melihat seberapa besar minat mereka. Ini akan memberikan gambaran apakah harga yang ditawarkan terlalu mahal atau terlalu murah.

  • Kondisi Pasar: Jika pasar sedang lesu, harga saham biasanya akan sedikit diturunkan untuk menarik minat. Sebaliknya, jika pasar sedang ramai, harga bisa dipasang lebih tinggi.

  • Harga yang Menarik: Underwriter akan mencoba mencari harga yang "menarik" bagi investor, yang punya potensi naik setelah IPO. Ini untuk memastikan IPO sukses dan tidak "gagal".

 

Singkatnya, proses valuasi dan penentuan harga saham itu adalah seni dan ilmu. Ini adalah hasil dari analisis data yang sangat teliti, ditambah dengan prediksi yang cermat, dan pemahaman yang mendalam tentang kondisi pasar. Kesalahan dalam tahap ini bisa berakibat fatal bagi kesuksesan IPO.

 

Manfaat dan Risiko dari Menjadi Perusahaan Publik

Keputusan untuk menjadi perusahaan publik itu seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi, ada banyak manfaat yang menjanjikan pertumbuhan dan keuntungan. Di sisi lain, ada juga risiko dan tantangan yang harus siap dihadapi. Ibaratnya, Anda dapat kesempatan mengendarai mobil balap yang super cepat, tapi risikonya pun jauh lebih besar daripada mengendarai mobil biasa.

 

Manfaat Menjadi Perusahaan Publik:

  1. Akses Modal Tak Terbatas: Setelah IPO, perusahaan bisa dengan mudah mendapatkan modal tambahan dengan menerbitkan saham baru lagi (right issue) atau obligasi. Ini memberi mereka keleluasaan finansial yang sangat besar untuk berekspansi.

  2. Peningkatan Reputasi dan Kredibilitas: Status perusahaan publik memberikan cap "resmi" dan terpercaya. Pelanggan dan mitra bisnis akan lebih yakin untuk berbisnis dengan Anda. Reputasi ini juga bisa memudahkan perusahaan mendapatkan pinjaman dari bank dengan bunga yang lebih rendah.

  3. Meningkatkan Nilai Perusahaan (Valuasi): Seringkali, valuasi sebuah perusahaan setelah IPO bisa melampaui valuasi saat masih swasta. Ini karena harga saham bisa naik-turun seiring dengan kinerja dan harapan investor.

  4. Menarik Talenta Terbaik: Seperti yang sudah dibahas, memberikan saham atau opsi saham kepada karyawan adalah daya tarik yang luar biasa. Ini membantu perusahaan merekrut dan mempertahankan karyawan-karyawan terbaik yang termotivasi.

  5. Cairnya Investasi Pendiri dan Investor Awal: Proses IPO memberikan jalan keluar yang jelas bagi para pendiri dan investor awal untuk "mencairkan" investasi mereka dan mendapatkan keuntungan yang signifikan.

 

Risiko Menjadi Perusahaan Publik:

  1. Tekanan Kinerja yang Sangat Tinggi: Sebagai perusahaan publik, Anda harus melaporkan kinerja secara berkala (triwulanan). Setiap keputusan, dari produk baru sampai strategi pemasaran, akan diawasi ketat oleh investor dan analis. Jika tidak mencapai target, harga saham bisa anjlok, yang bisa memicu kritik dan tekanan dari pemegang saham.

  2. Biaya dan Kerumitan yang Tinggi: Proses IPO itu sendiri sudah mahal, dan setelah Go Public, biaya untuk menjaga status ini juga tidak sedikit. Ada biaya untuk audit tahunan, biaya administrasi, biaya konsultan hukum dan keuangan, serta biaya untuk komunikasi dengan investor.

  3. Kehilangan Kendali: Setelah menjual saham ke publik, pendiri tidak lagi memiliki kendali penuh atas perusahaan. Mereka harus mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat pemegang saham lain, yang bisa jadi punya tujuan yang berbeda.

  4. Kurang Fleksibel dalam Mengambil Keputusan: Sebagai perusahaan publik, setiap keputusan strategis yang signifikan harus diumumkan dan mungkin perlu persetujuan pemegang saham. Ini membuat perusahaan kurang gesit dan cepat dalam mengambil keputusan dibandingkan saat masih swasta.

  5. Terekspos pada Sorotan Publik: Setiap kesalahan, dari masalah produk sampai masalah etika, bisa langsung menjadi berita utama dan disorot oleh media. Ini bisa merusak reputasi perusahaan secara instan.

  6. Volatilitas Harga Saham: Harga saham bisa naik-turun tidak hanya karena kinerja perusahaan, tapi juga karena kondisi pasar, sentimen investor, atau isu ekonomi global. Volatilitas ini bisa membuat stres dan memengaruhi moral karyawan.

 

Jadi, meskipun iming-iming modal besar dan reputasi yang lebih baik sangat menarik, keputusan untuk Go Public harus dipertimbangkan dengan matang. Perusahaan harus siap untuk berada di bawah pengawasan ketat, menerima tekanan dari investor, dan mengorbankan sedikit fleksibilitas demi pertumbuhan jangka panjang.

 

Perubahan Operasional dan Tata Kelola Perusahaan Pasca-IPO

Setelah perusahaan fintech berhasil Go Public, perayaan tidak berlangsung lama. Justru, ini adalah awal dari babak baru yang jauh lebih menantang. Perusahaan harus melakukan banyak perubahan besar, tidak hanya di level strategi, tapi juga di level operasional dan tata kelola perusahaan. Ibaratnya, Anda tidak lagi menjalankan bisnis keluarga, tapi sekarang Anda adalah "manajer publik" yang bertanggung jawab kepada ribuan pemilik (investor) yang baru.

 

1. Perubahan Tata Kelola Perusahaan (Corporate Governance):

  • Struktur yang Lebih Formal: Perusahaan publik harus punya struktur organisasi yang lebih jelas, termasuk adanya Dewan Direksi yang menjalankan operasional, dan Dewan Komisaris yang mengawasi kinerja Dewan Direksi. Anggota dewan ini seringkali diisi oleh orang-orang yang independen dan punya reputasi baik.

  • Transparansi dan Akuntabilitas: Ini adalah hal yang paling penting. Perusahaan harus sangat transparan. Mereka wajib melaporkan kinerja keuangan secara rutin (triwulanan), mengumumkan setiap keputusan penting yang bisa memengaruhi harga saham, dan mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tahunan. Semua informasi ini harus bisa diakses publik.

  • Komite-komite Pendukung: Perusahaan harus membentuk komite-komite internal, seperti Komite Audit yang mengawasi laporan keuangan, dan Komite Nominasi dan Remunerasi yang mengatur gaji dan bonus dewan direksi. Ini untuk memastikan semua keputusan diambil secara adil dan transparan.

  • Pematuhan Regulasi: Perusahaan harus selalu mengikuti aturan dari OJK dan BEI. Jika ada aturan baru, mereka harus segera menyesuaikan. Jika ada pelanggaran, bisa berakibat denda besar atau bahkan sanksi.

 

2. Perubahan Operasional Sehari-hari:

  • Fokus pada Pertumbuhan yang Berkelanjutan: Sebelum IPO, fintech mungkin fokus membakar uang untuk mendapatkan pengguna sebanyak-banyaknya. Setelah IPO, fokusnya harus lebih seimbang antara pertumbuhan dan profitabilitas. Investor ingin melihat kapan perusahaan akan mulai untung dan seberapa besar keuntungannya.

  • Manajemen yang Lebih Profesional: Keputusan tidak bisa lagi diambil hanya berdasarkan intuisi pendiri. Setiap keputusan besar harus didasarkan pada data dan analisis yang kuat. Manajemen harus bisa menjelaskan setiap langkah strategis kepada investor.

  • Peningkatan Fungsi Keuangan dan Legal: Tim keuangan dan legal perusahaan akan sangat sibuk. Mereka harus memastikan semua laporan keuangan akurat, semua regulasi dipatuhi, dan semua komunikasi dengan investor berjalan lancar. Perusahaan seringkali harus merekrut staf tambahan atau konsultan untuk menangani pekerjaan ini.

  • Manajemen Hubungan Investor (Investor Relations - IR): Ini adalah fungsi baru yang wajib ada. Tim IR bertanggung jawab untuk berkomunikasi secara rutin dengan investor, analis pasar, dan media. Mereka harus bisa menjelaskan strategi perusahaan, menjawab pertanyaan, dan menjaga hubungan baik dengan para pemegang saham.

 

Singkatnya, perubahan operasional dan tata kelola pasca-IPO itu adalah tentang transisi dari "bisnis pribadi" menjadi "institusi publik". Ini menuntut kedisiplinan, profesionalisme, dan komitmen untuk transparansi. Meskipun berat, perubahan ini yang justru membuat perusahaan fintech menjadi lebih kuat, matang, dan siap untuk bersaing di level global.

 

Studi Kasus 1: Fintech yang Sukses Melakukan IPO dan Meningkatkan Valuasi

Memahami konsep IPO itu penting, tapi akan lebih jelas jika kita melihat contoh nyata. Salah satu contoh fintech yang bisa dibilang sukses melakukan IPO dan berhasil meningkatkan valuasinya adalah Affirm, sebuah perusahaan fintech yang bergerak di bidang layanan Buy Now, Pay Later (BNPL) di Amerika Serikat.

 

Latar Belakang Affirm:

Affirm didirikan oleh Max Levchin (salah satu pendiri PayPal) pada tahun 2012. Ide utamanya adalah memberikan alternatif pembayaran cicilan yang lebih transparan dan mudah, tanpa kartu kredit. Mereka tumbuh pesat, bermitra dengan ribuan merchant, dan berhasil menarik banyak pengguna.

 

Proses IPO Affirm yang Sukses:

  1. Waktu yang Tepat: Affirm melakukan IPO pada bulan Januari 2021, di saat pasar saham sedang sangat bullish (sedang naik), terutama untuk perusahaan teknologi. Ini adalah waktu yang sangat ideal karena minat investor sangat tinggi.

  2. Valuasi yang Menarik: Affirm menetapkan harga IPO di angka $49 per saham. Meskipun ini sudah tergolong tinggi, banyak investor yang melihat potensi pertumbuhan BNPL sangat besar. Mereka menganggap harga ini masih "murah" dibandingkan potensi masa depan.

  3. Cerita Pertumbuhan yang Kuat: Affirm berhasil meyakinkan investor dengan cerita pertumbuhan yang agresif. Mereka menunjukkan data jumlah pengguna yang terus bertambah, jumlah transaksi yang melonjak, dan kemitraan dengan brand-brand besar. Mereka berhasil menjual "visi" dan "potensi masa depan" kepada investor.

  4. Dukungan Investor Institusional: Affirm sudah didukung oleh investor-investor besar sebelum IPO, seperti GIC dari Singapura dan Founders Fund. Dukungan dari investor institusional ini memberikan sinyal positif kepada pasar bahwa Affirm adalah perusahaan yang menjanjikan.

  5. Harga Saham Melejit di Hari Pertama: Di hari pertama IPO, harga saham Affirm langsung melonjak lebih dari 98%! Ini menunjukkan bahwa ada minat yang sangat tinggi dari investor ritel maupun institusional. Harga saham sempat menyentuh $96.20 per saham di hari pertama, hampir dua kali lipat dari harga IPO. Ini adalah indikasi yang jelas bahwa IPO mereka sangat sukses.

 

Dampak Positif Setelah IPO:

  • Peningkatan Valuasi: Valuasi Affirm langsung melonjak dari sekitar $15 miliar sebelum IPO menjadi sekitar $24 miliar di hari pertama perdagangan. Ini memberikan keuntungan besar bagi pendiri, investor awal, dan karyawan.

  • Akses Modal Besar: Lewat IPO, Affirm mendapatkan modal tunai miliaran dollar, yang mereka gunakan untuk:

    • Ekspansi Produk: Mengembangkan layanan baru dan meningkatkan teknologi.

    • Kemitraan Strategis: Membangun lebih banyak kemitraan dengan merchant besar, seperti Amazon, yang membuat mereka menjadi pemain BNPL yang dominan.

    • Merekrut Talenta: Mereka bisa menarik talenta-talenta terbaik dengan menawarkan saham perusahaan.

  • Meningkatkan Kredibilitas: IPO membuat Affirm lebih dipercaya oleh konsumen dan mitra bisnis. Mereka menjadi pemimpin pasar di segmen BNPL.

 

Studi kasus Affirm menunjukkan bahwa IPO yang sukses di industri fintech tidak hanya soal kinerja keuangan saat ini, tapi juga soal kemampuan meyakinkan pasar dengan cerita pertumbuhan yang kuat, memilih waktu yang tepat, dan didukung oleh fondasi yang solid.

 

Studi Kasus 2: Tantangan yang Dihadapi Fintech setelah Go Public

Tidak semua perusahaan fintech mengalami kesuksesan yang mulus setelah Go Public. Banyak yang justru menghadapi tantangan besar dan tekanan yang luar biasa, terutama jika pasar tidak mendukung atau ekspektasi investor terlalu tinggi. IPO yang gagal di hari pertama atau harga saham yang terus anjlok pasca-IPO bisa menjadi pelajaran berharga.

 

Studi Kasus: Lemonade (Insurtech Startup)

Lemonade adalah perusahaan insurtech (asuransi berbasis teknologi) yang sukses besar saat IPO di Juni 2020. Mereka menawarkan asuransi rumah dan penyewa dengan model bisnis yang unik, menggunakan kecerdasan buatan (AI) dan mengklaim proses klaim yang super cepat. Harga sahamnya melonjak dua kali lipat di hari pertama IPO, membuat valuasi mereka melambung. Namun, setelah setahun, harga saham mereka anjlok dan menghadapi banyak tantangan.

 

Tantangan yang Dihadapi Lemonade Pasca-IPO:

  1. Ekspektasi Investor yang Terlalu Tinggi:

    • Harga saham Lemonade yang melambung di awal membuat investor punya ekspektasi yang sangat tinggi. Mereka berharap Lemonade akan terus tumbuh pesat dan menguntungkan.

    • Namun, bisnis asuransi itu tidak mudah. Laba bersih Lemonade terus negatif karena mereka harus membayar klaim yang lebih besar dari yang diperkirakan, apalagi ditambah kejadian bencana alam.

  2. Fokus pada Profitabilitas vs. Pertumbuhan:

    • Sebagai perusahaan publik, Lemonade harus menyeimbangkan antara mengejar pertumbuhan (dengan membakar uang untuk pemasaran) dan mencapai profitabilitas.

    • Investor mulai khawatir karena kerugian perusahaan terus membengkak. Meskipun mereka berhasil menambah jumlah pelanggan, investor mulai meragukan apakah model bisnis mereka bisa menghasilkan keuntungan di masa depan.

  3. Perubahan Sentimen Pasar:

    • Di awal pandemi, pasar sangat optimis dengan perusahaan teknologi. Namun, seiring waktu, investor menjadi lebih skeptis dan menuntut perusahaan untuk menunjukkan profitabilitas, bukan hanya pertumbuhan.

    • Perubahan sentimen ini membuat saham fintech yang masih rugi, seperti Lemonade, jatuh.

  4. Tantangan dari Kompetitor dan Regulasi:

    • Di industri asuransi, mereka menghadapi kompetisi ketat dari pemain lama yang punya modal besar, dan juga harus berhadapan dengan regulasi yang sangat ketat di setiap negara bagian.

  5. Komunikasi dengan Investor:

    • Lemonade harus terus-menerus menjelaskan kepada investor mengapa kerugian mereka terus membengkak. Komunikasi ini bisa menjadi sangat sulit dan menantang, apalagi saat harga saham terus menurun.

 

Pelajaran dari Lemonade:

  • Harga Saham Bisa Anjlok: IPO yang sukses di hari pertama tidak menjamin kesuksesan jangka panjang. Harga saham bisa anjlok kapan saja jika kinerja tidak sesuai harapan investor.

  • Perlu Rencana yang Jelas Menuju Profitabilitas: Perusahaan fintech yang masih merugi harus punya rencana yang sangat jelas tentang kapan dan bagaimana mereka akan mulai menghasilkan keuntungan. Ini adalah hal yang paling dicari investor setelah Go Public.

  • Manajemen yang Profesional: Mengelola perusahaan publik sangat berbeda dengan mengelola startup. Butuh tim manajemen yang berpengalaman dan bisa menghadapi tekanan pasar.

  • Pasar Bisa Berubah Cepat: Jangan hanya mengandalkan sentimen pasar yang sedang optimis. Rencanakan strategi Anda untuk skenario terburuk, di mana investor menjadi lebih skeptis.

 

Studi kasus ini menunjukkan bahwa IPO itu seperti "pintu masuk" ke sebuah arena yang lebih besar dan lebih kompetitif. Tantangan sesungguhnya justru dimulai setelah Anda melangkah masuk.

 

Peran Investor Institusional dan Ritel dalam Pasar Modal

Ketika sebuah perusahaan Go Public, ada dua jenis investor utama yang akan membeli saham mereka: investor institusional dan investor ritel. Keduanya punya peran yang berbeda, tapi sama-sama penting dalam menjaga dinamika pasar modal. Ibaratnya, investor institusional itu seperti "pemain raksasa" dan investor ritel itu seperti "pemain individu" yang jumlahnya sangat banyak.

 

1. Peran Investor Institusional:

  • Siapa Mereka: Investor institusional adalah lembaga-lembaga besar yang mengelola dana dalam jumlah raksasa. Contohnya: bank investasi, dana pensiun, perusahaan asuransi, manajer investasi, dan dana lindung nilai (hedge funds).

  • Peran Mereka dalam IPO:

    • Pembeli Utama di Awal: Di awal proses IPO, penjamin emisi biasanya akan menawarkan saham kepada investor institusional terlebih dahulu. Mereka adalah pembeli utama yang akan menyerap sebagian besar saham yang ditawarkan.

    • Penentu Harga: Minat beli dari investor institusional sangat memengaruhi harga IPO. Jika mereka berminat, harga bisa dipatok lebih tinggi. Jika tidak, harga bisa saja diturunkan.

    • Investor Jangka Panjang: Kebanyakan investor institusional cenderung berinvestasi untuk jangka panjang. Mereka tidak mudah menjual saham hanya karena harganya naik turun dalam sehari. Mereka melihat potensi bisnis perusahaan dalam 5-10 tahun ke depan.

    • Membawa Kredibilitas: Kehadiran investor institusional yang terkemuka (misalnya, BlackRock, Vanguard) dalam daftar pemegang saham akan memberikan kredibilitas yang kuat bagi perusahaan. Ini akan menarik minat investor ritel untuk ikut membeli.

  • Analisis Mendalam: Investor institusional punya tim analis yang sangat ahli. Mereka akan melakukan analisis mendalam tentang model bisnis, manajemen, dan keuangan perusahaan sebelum memutuskan untuk berinvestasi.

 

2. Peran Investor Ritel:

  • Siapa Mereka: Investor ritel adalah individu-individu seperti kita semua. Mereka bisa membeli saham dalam jumlah kecil lewat aplikasi atau broker saham.

  • Peran Mereka dalam IPO:

    • Pembeli Setelah Investor Institusional: Investor ritel biasanya mendapatkan kesempatan membeli saham setelah investor institusional.

    • Penyokong Likuiditas: Meskipun jumlah saham yang dibeli per individu kecil, totalnya bisa sangat besar. Investor ritel berkontribusi besar terhadap likuiditas saham, yang artinya saham tersebut mudah diperjualbelikan di pasar.

    • Pendorong Volatilitas: Karena jumlahnya sangat banyak dan keputusan mereka seringkali didasarkan pada sentimen (berita di media, rumor), investor ritel bisa menjadi pendorong volatilitas (pergerakan harga yang cepat) di pasar saham.

    • Duta Merek: Karena mereka juga bisa menjadi pelanggan, investor ritel seringkali punya ikatan emosional dengan perusahaan. Mereka bisa menjadi "duta merek" yang mempromosikan produk perusahaan kepada teman-teman mereka.

 

Hubungan Keduanya:

Investor institusional dan ritel saling melengkapi. Investor institusional memberikan stabilitas dan modal besar di awal, sementara investor ritel memberikan likuiditas dan dukungan yang luas di pasar. Hubungan yang baik antara perusahaan dengan kedua jenis investor ini sangat penting untuk kesuksesan jangka panjang. Perusahaan harus bisa menyajikan cerita yang menarik bagi investor institusional (dengan data dan analisis yang kuat), sekaligus menjaga komunikasi yang sederhana dan efektif dengan investor ritel.

 

Strategi Pemasaran Investor (Investor Relations) yang Efektif

Setelah perusahaan Go Public, pekerjaan rumah terbesar adalah bagaimana menjaga hubungan baik dengan investor. Ini dikenal sebagai Hubungan Investor (Investor Relations - IR). Tujuan utamanya bukan hanya menjual saham, tapi membangun kepercayaan dan menjaga komunikasi yang terbuka dan transparan. Ibaratnya, ini seperti membangun hubungan jangka panjang; Anda tidak bisa cuma datang saat butuh uang, tapi harus selalu ada untuk berkomunikasi.

 

Mengapa Investor Relations Penting?

  • Membangun Kepercayaan: Investor akan lebih percaya pada perusahaan yang transparan, jujur, dan komunikatif, bahkan saat menghadapi masalah. Kepercayaan ini bisa membuat investor tetap tenang saat harga saham turun.

  • Menarik Investor Baru: Komunikasi yang efektif bisa menarik perhatian investor baru yang ingin berinvestasi di perusahaan Anda.

  • Menjaga Harga Saham Stabil: Komunikasi yang baik bisa mencegah rumor atau berita negatif yang tidak benar memengaruhi harga saham secara drastis.

  • Menjaga Loyalitas Investor: Investor yang merasa dihargai dan punya informasi yang cukup cenderung akan tetap setia dan tidak mudah menjual saham mereka.

 

Strategi Pemasaran Investor yang Efektif:

  1. Komunikasi Terbuka dan Konsisten:

    • Laporan Berkala: Pastikan laporan keuangan triwulanan dan tahunan dipublikasikan tepat waktu dan mudah diakses.

    • Press Release dan Pengumuman: Segera umumkan setiap berita penting, seperti peluncuran produk baru, kemitraan strategis, atau perubahan di manajemen.

    • Konferensi Pers dan Earnings Call: Adakan pertemuan rutin dengan investor dan analis untuk menjelaskan kinerja perusahaan dan menjawab pertanyaan mereka.

  2. Membangun Cerita yang Kuat (Storytelling):

    • Investor tidak hanya tertarik pada angka. Mereka ingin tahu "cerita" di balik angka-angka itu.

    • Fokus pada Visi: Jelaskan visi jangka panjang perusahaan. Apa yang ingin dicapai dalam 5 atau 10 tahun ke depan?

    • Sorot Keunggulan Kompetitif: Apa yang membuat perusahaan Anda berbeda dari kompetitor? Apakah itu teknologi, tim, atau model bisnis yang unik?

    • Tunjukkan Dampak: Ceritakan bagaimana produk Anda memecahkan masalah pelanggan atau memberikan dampak positif bagi masyarakat.

  3. Membuat Materi yang Mudah Dipahami:

    • Prospektus dan Laporan Tahunan: Buat dokumen-dokumen ini tidak hanya berisi angka, tapi juga narasi yang jelas.

    • Website Khusus Investor: Buat bagian khusus di website perusahaan yang berisi semua informasi penting untuk investor, seperti laporan keuangan, presentasi, dan informasi kontak.

    • Gunakan Visual: Pakai grafik, infografis, atau video untuk menjelaskan hal-hal yang kompleks secara sederhana.

  4. Menangani Pertanyaan dan Kritik dengan Profesional:

    • Tim IR harus siap menjawab pertanyaan dari investor, baik itu yang kritis maupun yang positif. Jawablah dengan jujur dan lugas, jangan menghindar.

    • Jika ada rumor negatif, tanggapi dengan data dan fakta yang benar.

  5. Memahami Investor Anda:

    • Kenali siapa investor Anda. Apakah mereka investor institusional besar atau investor ritel? Strategi komunikasi untuk keduanya bisa berbeda.

    • Investor institusional butuh data dan analisis mendalam, sementara investor ritel butuh komunikasi yang lebih sederhana dan personal.

 

Singkatnya, Investor Relations adalah seni dan ilmu untuk membangun hubungan jangka panjang. Ini adalah pekerjaan yang tidak pernah berhenti. Dengan strategi yang efektif, perusahaan fintech bisa memastikan harga saham mereka mencerminkan nilai yang sebenarnya dan membangun basis investor yang loyal dan suportif.

 

Kesimpulan: Go Public sebagai Babak Baru Pertumbuhan dan Akuntabilitas

Kita sudah sampai di akhir pembahasan tentang Go Public di industri fintech. Dari seluruh penjelasan di atas, kita bisa menarik benang merah bahwa Go Public adalah sebuah transformasi besar yang tidak hanya mengubah status perusahaan, tapi juga mentalitas, operasional, dan tanggung jawabnya. Ini adalah babak baru yang penuh peluang, namun juga penuh tantangan.

 

Go Public sebagai Babak Baru Pertumbuhan:

  • Akses Modal Raksasa: IPO membuka keran modal yang sangat besar, memungkinkan fintech untuk membiayai ekspansi agresif, inovasi produk, dan akuisisi yang tidak mungkin dilakukan sebelumnya. Ini adalah mesin pendorong pertumbuhan yang paling efektif.

  • Meningkatkan Reputasi: Status perusahaan publik memberikan kredibilitas yang lebih tinggi di mata pelanggan, mitra, dan investor global. Ini membuka pintu untuk kemitraan baru dan memperkuat posisi di pasar.

  • Monetisasi: Bagi pendiri dan investor awal, IPO adalah kesempatan emas untuk mendapatkan hasil dari investasi bertahun-tahun, yang bisa mereka gunakan untuk proyek baru atau kebutuhan pribadi.

  • Menarik Talenta Terbaik: Kemampuan untuk menawarkan saham kepada karyawan adalah daya tarik yang kuat untuk merekrut talenta-talenta top dan membangun tim yang loyal dan termotivasi.

 

Go Public sebagai Babak Baru Akuntabilitas:

  • Transparansi yang Ketat: Setelah IPO, perusahaan harus sangat transparan. Setiap keputusan, dari keuangan hingga operasional, harus bisa dijelaskan kepada publik. Ini menuntut kejujuran dan disiplin yang luar biasa.

  • Pengawasan dari Berbagai Pihak: Perusahaan akan diawasi ketat oleh regulator (OJK, BEI), investor, media, dan analis. Setiap kesalahan bisa menjadi sorotan publik.

  • Tata Kelola yang Profesional: Perusahaan harus mengadopsi struktur tata kelola yang lebih formal dan profesional, dengan dewan direksi dan komisaris yang independen, serta komite-komite pendukung.

  • Tekanan Kinerja: Perusahaan akan terus-menerus berada di bawah tekanan untuk menunjukkan pertumbuhan yang stabil dan, pada akhirnya, profitabilitas.

 

Pada akhirnya, keputusan untuk Go Public bukanlah tujuan akhir, melainkan awal dari sebuah perjalanan baru. Perusahaan fintech harus siap untuk transisi dari "startup jagoan" yang lincah dan berani, menjadi "institusi yang kuat" yang terstruktur dan bertanggung jawab.

 

Strategi IPO yang sukses di industri fintech adalah tentang menyeimbangkan antara pertumbuhan yang agresif dan akuntabilitas yang kuat. Perusahaan yang mampu melakukan ini akan menjadi pemenang jangka panjang di pasar yang sangat kompetitif, mampu memanfaatkan pasar modal sebagai sumber kekuatan untuk mendominasi industri dan menciptakan nilai yang berkelanjutan bagi semua pihak.

 

 

 

Comments


bottom of page